Clock

Tuesday 25 October 2011

Muhammad Firhandi Dwi Payana

Laskar Pelangi

Menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitung. Anak orang-orang kecil ini mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern pada masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu papa dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.

Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin, gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras-sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.

Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sepuluh orang anak Melayu Belitong yang luar luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu, bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan lagi Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuru tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampong mereka dalam karnaval 17 agustus. Sungguh, begitu hebatnya mereka para anggota Laskar Pelangi.






0 comments:

Post a Comment